Senin, 02 Mei 2011

Pernikahan 2

BAB PERNIKAHAN

Perkawinan orang islam
dengan keresten dengan cara islam
Usul 1/B:15
Bagaimanakah Hukum perkawinan seseorang muslimat dengan seorang Kristen, sedangkan perkawinan dilakukan menurut Agama Islam dan bagaimanakah illatnya ?

Jawab :
Tidak sah perkawinan antara Ahlul kitab ( Yahudi dan nasrani ) kalau yang laki itu ahlul kitab dan si istri orang islam lain halnya kalau laki islam dan perempuan ahlul kitab, maka yaitu kalau lengkap syarat-syaratnya maka perkawinan sah, dan perbedaan antara dua masalah tersebut yaitu kalau laki Ahlul kitab dan sebagai kepala keluarga mudah sekali memaksa istrinya meninggalkan Agamanya, dan barang tentu dia yang mengkasaad, anak-anaknya untuk dididik dengan agamanya, dan lagi karena tidak percaya kepada Nabi kita Muhammad SAW. Dan tidak jarang terjadi pertengklaran antara suami istri, dan tentunya mereka tidak segan segan memaki-maki Nabi untuk menjalankan emosinya. Lain halnya kalau sebaliknya laki-laki itu Islam dan Istrinya Ahlul Kitab. Kita mempercayai Nabi Allah Musa dan Isa AS. Dan menghormati keduannya dan bagaimanapun emosinya tentu tidak berani menghina dua rasul tersebut dan anak-anaknya tentu dididik secara Islam.



Pesan wali yang musafir untuk mewakilkannya
Usul 3/B:45
Ada seorang wanita walinya pergi musafir keluar daerah sebelum ia berangkat ia berpesan kepada saudaranya dengan perkataan sebagai berikut : “ kalau anak ini kawin saya serahkan walinya kepadamu “ kemudian anak tersebut kawin setelah bapaknya /awalinya berangkat, maka dalam hal tersebut apakah boleh diluluskan atau tidak ?

Jawab :
Hal tersebut tidak boleh diluluskan karena termasuk taklikul wakalah dan ta’likul wakalah didalam akad Nikah adalah Tidak sah, maka yang boleh mewalikannya ( mengwainkannya ) ialah hakim dengan Syarat walinya itu berada dalam perjalanan dua marhalah atau lebih.
( dan usul ini sudah masuk pada Brusur yang ke 30 tanggal 14 September 1980 ) yang telah dilengkapi dengan Ibaratnya.

Wali perempuan yang dilahirkan
kurang dari enam bulan dengan kecanggihan ilmu Kedokteran
Usul 1/B:45
Seandainya terjadi perkawinan anatara orang laki dengan seorang gadis yang kemudian karena berkat Ilmu Kedokteran dalam tempo enam atau kurang si istri melahirkan seorang anak wanita , maka siapakah yang menjadi walinya atau kepada siapakah dihubungkan Nasabnya tersebut ?

Jawab :
Peroses kejadian mausia didalam buntingan Ibu menurut hukum Syara’ sekurangnnya yaitu enam bulan dan dua lahzah ( ستة أشهر ولحظتين ) dan yang dimaksudkan dengan dua Lahzah yaitu : Lahzatun pada Zima’ dan Lahzatun pada Melahirkan Kemudian hukum Syara’ itu selamanya tidak boleh dirubah.
Seandainya ada yang melahirkan dalam tempo enam bulan atau kurang yang dihitung dari sejak perkawinannya maka anak yang lahir itu tidak dihubungkan kepada sewaminya tersebut.
Adapun kalau lebih dari enam bulan sekalipun dua lahzah anak tersebut dihubungkan kepada suaminya.


Perkawinan orang yang baru masuk islam dengan wali Tahkim
Usul 4 B:16/09/90
Didesa kami pernah terjadi yaitu : seorang perempuan luar Islam , kemudian masuk ke agama islam dan diambil ( dikawini ) oleh laki-laki islam yang telah beristri.
Dalam hal ini sehubungan dengan kondisi si perempuan itu lemah tidak dapat pergi kepada sultan, lalu ia dikawini oleh orang yang diserahi urusan pada masalah tersebut dan seakan-akan sultan tidak berada pada tempat itu, kemudian yang saya tanyakan sahkah perkawinannnya itu dengan wali tahkim ? Mohon penjelasan ?

Jawab :
Jawab Usul tersebut memang ada haditsnya yang berbunyi :
السلطان ولي من لا ولي له

Yang dimaksudkan denngan sultan ialah Pemerintah tertinggi seperti raja, Peresiden, kemudian tidak wajib ia langsung mengawinkan perempuan yang tidak punya wali, akan tetapi boleh dia mengangkat seseorang atau lebih sebagai pejabat untuk mengawinkan perempuan yang tidak mempunyai wali, dan pejabat tersebut dalam pemerintah Islam seperti di Saudi Aarabiya disebut dengan nama Ma’zun, jadi perempuan tersebut kalau dikawinkan oleh pejabat yang diserahi urusan dalam masalah perkawinan seperti misalnya KUA, maka perkawinannya itu sah dan disebut dengan wali Hakim dan bukan disebut dengan Tahkim.
Adapun bertahkim ( Mengangkat seorang oleh dua mempelai untuk mengwainkannya 0 yang demikian tidak sah kalau ditempat itu ada hakim, kecuali kalau tidak ada Hakim sama sekali sepeti di kapal laut atau hakim tersebut tidak mau mengawinkan melainkan dengan ada uang, maka barulah sah bertahkim.


Wali Mujbir berwakil kepada anaknya
Usul 1/B:7 /07/91
Seorang Wali Mujbir berwakil kepada anaknya laki-laki untuk mengawainkan saudara kandungnya apakah boleh atau tidak ? mohon penjelasan ?

Jawab :
Maksud dari kalimat wali mujbir yaitu yang beloh mengawinkan anaknya yang perempuan dengan tanpa izin dari bapak , kalau tidak ada bapak maka wali mujbir itu niniknya dan seterusnya keatas dan boleh ia mengawinkan anaknya yang perempuan dengan 5 syarat:
1. Bahwa ia mengawinkan dia dengan orang yang kupuk dengan dia
2. bahwa laki-laki itu tidak bermusuhan dengan perempuan itu
3. Bahwa perempuan itu tidak bermusuhan dengan si walinya.
4. Bahwa laki-laki itu mampu membayar maharnya
5. Bahwa maharnya itu ( mahar mitsil ) atau lebih daripadanya.

Dan tidak disyaratkan dia sendiri yang mengawinkan dan boleh dia berwakil untuk mengawinkan dan boleh dia berwakil untuk mengawainkan anaknya kepada siapa saja yang dikehendakinya baik orang ajnabi atau anaknya yang laki,dan dari keterangan di atas sudah terjawab usul di atas




Hukum perkawinan dengan jin
dan Hukum Jin Menjadi saksi
Usul 2/B:7 /07/91
Bagaimanakah hukum manusia islam yang kawain dengan jin serta bolehkah bangsa jin itu yang menjadi saksi ?

Jawab :
Ketahuilah bahwa bangasa Jin itu sama dengan manusia berkewajiban menyembah Tuhan dengan dalil Firman Allah SWT. Didalam Al-Qur’an

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Artinya : Tiadalah aku jadikan Jin dan Manusia itu melainkan agar mereka menyembah akndaku “

Dan ketahuilah bahwa mereka bersamaan dengan Manusia ada yang Islam dan ada yang Fasik ada yang Saleh dan ada yang Kafir . dan bahwa mereka berNabi dan berrasul kepada Nabi rasul manusia dan Tuhan tidak mengangkat Rasul dari mereka, karena Rasul itu harus diangkat dari makhluk yang termulia dan bangsa manusia jauh lebih mulia dari pada bangsa Jin.
Dan ittifak para Ulama’ menwajibkan kita ber’itiqad bahwa nabi kita Muhammad SAW di utus kepada ( Tsaqalaen ) \yaitu Jin dan manusia
Adapun Masalah perkawinan antara laki dari manusia dengan wanita dari Jin atau sebaliknya yang keduanya Islam ada perselisihan para Ulama’
Sebahagian berpendapat sah perkawinan antara Manusia dengan Jin dipandang dari pada kewajiban – kewajiban yang bersamaan dengan manusia
Dan sebagaian berpendapat tidak sah perkawinan antara Manusia dengan Jin karena berlainan
Adapun masalah Jin menjadi saksi perkawinan kalau kita berpegang kepada pendapat yang pertama yang mengatakan sah perkawinan antara Jin dan Manusia maka sah mereka menjadi Saksi asalkan mereka Islam dan Adil tidak Fasik dan yang mengawainkan adalah Walinya atau wakilnya tepat sama seperti manuisia, dan mereka masuk pada hadits yang berbunyi :

لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Yang artinya : Tidak syah pernikahan keculai dengan Seorang Wali dan dua saksi yang adil

Dan yang mengenal mereka antara yang Islam atau tidaknya tentulah bangsa mereka sendiri.

KUA dan wali yang tidak dianggap enggan ( ‘Adhal )
Usul 14/B:31
Bagaimanakah hukum suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh KUA , sedangkan walinya tidak dianggap engan oleh mahkamah Syari’at hanya yang menjadi permasalahan adalah mengenai tempat, yang keinginannya pihak Wali mau menikahkan anaknya di rumah/ masjidnya sendiri dan pihak si mempelai laki-laki tidak mau mengikuti kamauan si wali.
Maka pihak KUA mengambil tindakan bahwa pernikahan harus dilaksnakan di kantor KUA kemudian wali dipanggil untuk segera menikahkan anaknya tapi pihak wali tidak dapat hadir karena sesuatu hal hanya mengirim utusan saja dengan memberitahukan kepada KUA bahwwa ia mau mnikahkan anaknya di rumah, tapi hal demikian tidak dibenarkan oleh KUA dan dinggap enggan dan pernikahannya dilangsungkan oleh KUA dalam hal ini mohon penjelasan menurut hukum Syara’ yang berlaku ?

Jawab :
Usul ini Majlis Ta’lim tahu benar masalahnya, karena andai kata kalau dijawab akan menjadi Fitnah, sedangkan majlis ta’lim Al-Islahuddiny mengadakan penagajian majlis Ta’lim mengadakan pengajian Abi Turen bukan untuk membuat Fitnah dan majlis Ta’lim tidak mau ikut serta dalam masalah tersebut , dan masalah tersebut talah terjadi dan antara kedua belah pihak masing-masing membela dan membenarkan dirinya.
Masalah Budu’ yang seharusnya dilebihkan ihtiyatnya dari masalah-masalah lain karena asangat berat resikonya. Masalah ini sama halnya dengan berbilang-bilang jum’at disuatu negeri, para Ulama’ mensunnatkan diulangi dengan zohor karena ihtiyat dengan tujuan kalau jum’at itu ( pada nafsu Amarnya ) tidak sah maka zohor itulah yang menjelaskan kewajiban , dan jikalu ( pada Nafsu Amarnya ) Jum’at itu sah maka zohor itu jatuh jadi Sunnat . tentang hal tersebut para ualama’ berpegang pada Hadits yang diriwayatkan oleh saidina Abi Thalib RA. Katanya :
حفظت من جدي صلى الله عليه وسلم : دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
Artinya :Tinggalkan barang yang meragukanmu kepada barang yang tidak meragukanmu.

Dengan demikian Nabi Muhammad SAW menyuruh agar kita jangan melaksanakan so’al apa saja yang kita ragu-ragukan ( apakah halal atau haram apakah sah atau batal ) dan dia menyuruh agar kita melaksanakan yang tidak benar-benar sahnya.
Nah begitulah kita sebagai ummat yang menjunjung Taqwa terhadap Allah dengan mengikuti petunjuk dari Nabi Muhammad SAW .



Pernikah tanpa saksi ketika penyarahan wali
Usul 8/B:31
Pada saat peristiwa akad Nikah terjadi perselisihan pendapat tentang seorang pengambil Wali Nikah dengan tanpa saksi ketika wali ikrar untuk berwakil kepada orang lain, apakah tidak sah perwakilan seseorang tanpa saksi ketika penyerahan Wali ?

Jawab :
Penyerahan Wakalah sseorang wali kepada wakilnya tidak disyaratkan ada saksi, begitu pula izin perempuan tidak disyaratkan punya saksi, cukup penyarahannya itu melalui orang yang mengambil wali kemudian menyampaikannya kepada si wali.
Kalau penyarahan wakalah itu punya saksi alangkah baiknya karena kita harus banyak ihtiyath atau berhati-hati pada amsalah perkawinan disamping itu untuk menghindari keraguan atau keingkarannya wali.
Iabarat “ Ia’anatuttalibin “ Halaman 302 Juzu’ III menjelaskan :
1. نقل في البحر عن الأصحاب أنه يجوز : إعتماد صبي إرساله الولي إلى غيره ليزوج مواليته أي أن وقع في قلبه صدق المخبرز
2. ولو بلغت الولي أمرأة أذن موليته فيه فصدقها ووكل القاضي فزوجها صح التوكيل والتزويج لأن الإشهاد على الإذن غير شرط فيقبل خبر الصبي ةالمرأة فيه وإذا صح الإذن بذالك صح التوكيل والتزويج

Hukum menjimak istri yang sedang haidh
Usul 9/B:31
Seorang istri dijima’ oleh suaminya dikala sedang haidh dengan alasan sang suami ketimbang berbuat serong dengan perempuan lain karena tidak tertahan nafsunya menunggu istrinya sampai suci, apakah perbuatan suami itu dapat digolongkan dalam “ Darurat “ ?

Jawab :
Hukumnya tetap haram , sesuatu yang haram tidak bisa berobah menjadi halal karena kekerasan nafsu.


Saudaranya menjadi wali
Usul 5/B:31
Ada seorang gadis/ Perempuan dinikah sedangkan yang menjadi walinya adalah saudaranya , dan wali itu berwakil sebelum minta izin pada mempelai yang bikir /gadis itu, hal demikian apakah sah atau tidak ? mohon penjelasan

Jawab :
a. wali Mujbir ialah wali yang boleh mengawinkan tanpa seizing dari anak yang diwalikan.
b. Wali Gairu Mujbir : ialah Wali yang tidak boleh mengawin sebelum ada izin dari yang diwakan seperti saudara bila si wali tidak sah mengwain sebelum ada izin tidak sah pula ia berwakil sebelum ada izin , dalam kitab “ I’anah “ Halaman 324 Juzu’ III menjelaskan :


Kawin suntik
Usul 7/B:15
Apakah boleh istri keluarga melakukan kawin suntik apabila istri itu tidak bisa melahirkan atau suami itu telah dinyatakan mandul oleh dokter, mohon penjelasan .
1. Andaikata mungkin terjadi hal serupa itu karena kemajuan zaman sekarang ini, jadi anak yang dilahirkan itu termasuk anak apa?
2. bagaimana Kedudukan anak itu dalam warisan?
3. Siapa pula walinya jika ia seorang wanita ?

Jawab :
Kawin suntik didalam usul tersebut bukan seperti suntik bisaa, alan tetapi seperma ( mani laki-laki ) di masukkan dengan Alat kedalam rahim perempuan di waktu yang tertentu yakni pada waktu suburnya dan bisa perempuan itu menjadi hamil, dan tidak saja bahwa yang demikian itu tidak dibenarkan ( haram ) didalam Agama Islam baik keduannya suami istri itu mandul atau tidak, oleh karena seperma siapa sudah barang tentu mani orang kafir, karena orang islam tiada yang mau /redha diambil maninya untuk dimaksukkan kedalam rahim seseorang perempuan baik perempuan itu istrinya apalagi perempuan Ajnabiyah. Hal tersebut hamper dengan Nikah Istibda’ yang dilakukan oleh orang Jahiliyah yaitu seorang suami melihat/mengetahui seorang laki-laki tanpan , serdas, pintar, pemberani maka diperintah istrinya setelah baru saja bersih dari haednya ( yaitu waktu subur ) agar menyerah dirinya dan bermalam beberapa malam dengan laki-laki dan supaya anaknya mengikuti sifat-sifat laki-laki tersebut.
Sayidina A’isyah Ra. Yang menyeritakan bermacam – macam cara perkawinan yang tidak terdapat dalam zaman jahiliyah itu , ia berkata semua cara-cara itu tidak dibenarkan oleh Rasulallah kecuali cara kita yang sekarang ini.





Menikahkan anaknya lewat Telepon
Usul 6 /B:31
Ada seorang Wali Nikah berada ditanah suci Makkah , bolehkah hukum menikahkan anaknya melalui telpon, kemudian apakah boleh ia berwakil untuk menikahkan anaknya ? Mohon penjelasan

Jawab :
Akad perkawinan harus dengan ada Wali dan dua saksi
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
dan saksi-saksi itu harus melihat dan mendengar , sebagaimana keterangan kitab Ia’nah Halaman 300 Juzu’ III yang berbunyi sebagai berikut :
وشرط الشهادة بقوله كعقد وفسخ وإقرار إبصار وسمع لقائله حال صدوره فلا يقبل فيه أصم لايسمع شيئا ولا أعمى في مراي لانسداد طرق التمييز مع الإشتباه الأصوات ولا يكفي سماع شاهدمن وراء حجاب وإن علم صوته وفي الأعمى في عدم صحته الشهادة من بظلمة شديدة لا يرى فيه العاقدين ثم إن المقصود في شهود النكاح إثبات العقد بهما عند التنازع
Kemudian keterangan kitab Nihayatal Muhtaj Juzu’ VI halaman : 218 sbb :
فلو سمعالإيجاب والقبول من غير رؤية للموجب والقبائل ولكن جزما في أنفسها بأن الموجب والقبائل فلان وفلان لم يكف لعلة المذكورة
Berdasarkan Nas ? keterangan diatas maka orang yang mengawinkan melalui telepon tidak sah , karena tidak hadir dan tidak dapat dilihat oleh saksi.
Adapun Wali yang berada di masafatul Qasri sekurang-kurangnya dua marhalah tidak perlu ia berwakil cukup dengan Hakim, tetapi kalau Wali itu berwakil tidak menjadi so’al ( dak ada masalah ) maka yang mengawinkan si Wali tersebut.
Ia’nah Halaman : 315 Juzu’ III menjelaskan seabgai berikut :
فيزوج القاض بكفء بالغة كائنة في محل ولايته حالة العقد ولو مجتازة به عدم وليها الخاص بنسب أو ولاءا وغاب أقرب أوليائها مرحلتين وليس له وكيل حاضر في التزويج فإن كان له وكيل حاضر قدم على السلطان على المنقول المعتمد

Hukum Perkawinan orang banci
Usul 1/B:31
Bagaimana hukum perkawinan orang banci ( muskil ) kawin dengan seorang gadis ? mohon penjelasan ?


Jawab :
Penjelasan di dalam Kitab “ Majmu’ No. 47 pada Juzu’ II bahwa khunsa ( banci ) itu ada dua macam :
1. Khunsa yang mempunyai lubang tidak mempunyai alat Laki ( kelamin laki-laki ) dan tidak mempunyai alat perempuan ( kelamin perempuan )
2. Khunsa yang punya alat laki dan alat perempuan

Khunsa yang pertama tidak bisa nyata laki atau perempuannya melainkan sudah ia balig, kalau cenderung tabi’atnya/ kelakuan dan keinginannya kepada perempuan ternyata ( maka ) ia laki dan sebaliknya kalau ia cenderung tabiatnya kepada laki ternyata ia perempuan.
khunsa Kedua : yaitu bisa nyata laki atau perempuannya dengan melalui beberapa jalan seperti melalui kencing , kalau kencing melalui alat laki ternyata laki-laki dan sebaliknya kalau kencing melalui alat perempuan ternyata ( maka ) ia perempuan
عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال في مولود له ما للرجال وما للنساء يورث من حيث يبول
Hadits dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad SAW. Bersabda pada orang yang memiliki kelamin laki dan perempuan bahwa ia mendapatkan warisan tergandung dari mana ia kencing.
Selama banci itu Muskil/ belum nyata laki atau perempuannya tidak sah dikawin karena kemungkinan ia laki dan mungkin pula ia perempuan, dalam Kitab Jamal Halaman 15 Juzu’ 4 menerangkan sebagai berikut :
أما الخنوثة المشكلة فلا يصح معها النكاح
Sehubungan dengan itu tidak sah menjadi Imam dan Penyaksian dua orang banci ( Muskil ) tersebut terhitung penyaksian satu orang laki-laki ibarat majmu’ Halaman 54 Juzu’ II menjelaskan :
ولا يكون إماما وشهادة خنثيين كرجل


Hukum Perkawinan
perempuan yang di bawah umur 9 tahun
Usul 2/B:31
Mohon penjelsaan hukum perkwinan anak yang masih dibawah umur 9 tahun kemudian dibarengi oleh suaminya, dan apabila terjadi perceraian diantara keduannya bagaimanakah Iddahnya ?


Jawab :
Hukum perkawinan anak yang masih dibawah umur 9 tahun ( belum balig ) adalah sah dengan memakai wali Mujbir dan boleh digauli bila ia kuasa, adapun kalau tidak kuasa hukumnya haram karena menyakiti dan memudaratkan, sedangkan rasulallah telah bersabda :
لا ضرر ولا ضرر
Iddahnya orang yang belum haidh seperti anak yang masih dibawah umur tersebut yaitu dibawah 9 tahun ialah tiga bulan dengan perhitungan bulan qamariyah ( Hilaliyah ) dengan dalil sebagaimana diterangkan pada Kitab Jamal Halaman : 444 Juzu’ IV sebagai berikut :
وعدة حرة لم تحض أو يئست من الحيض ثلاثة أشهر هلالية قوله تعالى : واللائي يئسن من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر واللائي لم يحضن أي فعدتهن كذالك




Istri kawin lagi sebelum ia ditalaq
Usul 1/B:36
Dikampung kami pernah terjadi seseorang laki-laki menitip istrinya dirumah mertuanya dengan katanya sebagai berikut :
“ Aku titip istriku ini selama 6 Bulan sebab aku akan pergi musafir keluar daerah kemudian setelah enam bulan ia meninggalkan istrinya ia tidak kembali bahkan sampai 3 Tahun dan selama ia meninggalkan istrinya ia tidak pernah memberikan istrinya Nafkah dan berita ia katanya di sulawesi.
Akhirnya istrinya yang ditinggalkan itu karena tidak sabar lagi ia kawin dengan dengan laki-laki lain. Maka bagaimanakah hukumnya pada masalah tersebut ?

Jawab :
Perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya tidak boleh ia kawin dengan laki-laki lain sebelum ia ditalaq oleh suaminya karena hak talaq berbeda pada tangan suaminya , oleh sebab itu ia tidak berada pada tangan suaminya, oleh sebab itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain dan hanya ia boleh mengajukan tuntutan kepada Hakim dan Apabila Hakim telah memutuskannya dengan talaq atau Fasakh di anatara keduanya berarti istri yang ditinggalkan itu sudah terlepas dari tangan suaminya dan ini dijelaskan oleh Ibarat Majmu’ Halaman 185 Juzu’ 18 yang berbunyi :
أما الأحكام : فإذا غاب الرجل عن امراته غيبة غير منقطعة يعرف فيها خبره و مكانه ويلأتي كتابه فهذا ليس لإمرأته أن تتزوج في قول أهل العلم أجمعون , إلا أن يعتذر الإنفاق عليها من ماله , فلها أن تطلب فسح النكاح فيفسح نكاحه

Hukum Anak tabung
Usul 6. /B:5-5-1991
Apakah hukum melaksanakan bayi tabung dan apakah hukum anak tabung tersebut ?

Jawab :
Bayi Tabung itu bayi yang terjadi dengan jalan persetubuhan yang bukan bisaa antara laki dan perempuan dokter Inggris bernama Jhon Benter
Hukum pekerjaan tersebut adalah boleh kalau seperma suami istri dan bayi tersebut adalah anak keduannya.
Adapun kalau pekerjaan tersebut bukan antara seperma suami istri maka hukumnya adalah haram karena termasuk dalam hukum zina baik dengan redha keduannya atau dengan tidak redha keduannya dan bayi tersebut hukumnya anak zina akan tetapi laki dan perempuan yang mempunyai seperma tidak dihad ( dihukum dera ) karena tidak berupa zina bisaa. Jawaban ini saya nukil dari Jawaban Syekh seorang Ulama’ Mesir didalam majalah Mimbar Islam No. 49 Rabi’ul Akhir 1411H.

Dibaawah ini saya memberi ijazah kepada Jama’ah Abituren Do’a yang warid dari Nabi SAW. Untuk mendo’akan bagi segala macam penyakit, Do’a ini disebut didalam kitab “ Riadussalihin “ diberi Ijazah kepada saya oleh guru saya Al-Mukarram Sayyid Alwi Al- Maliki :

Meruju’ istri dari jauh
So’al 1 B/ 10 :
Ada seseorang mentalaq istrinya di lombok setelah itu laki-laki ini prgi ke Makkah dia ruju’I istrinya tanpa memberitahukan istrinya di lombok, kemudian perempuan ini kawin dengan laki-laki lain , kira –kira satu bulan ia kawin ( akad Nikah ) suaminya yang di makkah pulang ke lombok, setelah sampai di lombok ia menerangkan telah meruju’I istrinya serta menuntut supaya istrinya kembali, maka dalam masalah ini bagaimana pertimbangan hukum Agama Islam ?

Jawab :
Bila suami yang pertama dapat membuktian kebenaran telah meruju’I istrinya , di tanah suci dengan saksi – saksi atau dengan penguat lainnya, maka nikah perempuan tersebut dengan lakai-laki yang kedua tidak sah, karena pada Nafsu Amarnya ( Pada Hakekatnya ) Nikah perempuan itu dengan suaminya dengan suaminya yang pertama telah bersambung kembali, walaupun dalam ruju’nya tidak di beritahukan kepada pihak perempuan yang bersangkutan , sebab memang dalam masalah sahnya ruju’ tidak di syaratkan harus memberitahukan pihak wanita yang di ruju’I dan tidak juga di syaratkan harus mukhatab si perempuan dengan ucapan( aku meruju’I kamu ). Dengan demikian di simpulkan banwa sah meruju’I perempuan dari jauh , dan dalam qawa’idul fiqhiyah di jelaskan :
العبر ة في العقو د بما في نفس الا مر

Melihat masalah yang di ajukan oleh pengusul , maka laki-laki yang kedua itu berarti mengawini ( melakukan akad nikah ) dengan perempuan yang masih di miliki orang lain , oleh karena itu pengurus perkawinan ( P3 NTR ) wajib bersifat hati-hati dan teliti betul-betul jagan sampai terjadi hal tersebut di atas. Dapun terhadap perempuan yang bersangkutan tidak boleh ia langsung kembali berseuami yang pertama tapi ia harus menjalankan iddah syubhatnya baik dengantiga kali suci kalau dia Minzawatil Aqra’ atau dengan mel;ahirkan kalau dia hamil atau dengan menunggu tiga bulan bila dia kecil dan pernah di duhuli. Begitu pula ( dengan tiga bulan ) Bila ia telah putus dari Haidh.

Mengucapkan kata –kata Ta’liq karena terpaksa


Usul 1 /B: 5/06/88
Ada dua orang suami istri telah berkelahi dalam perkelahiaan itu si suami memukul istrinya, kemudian datanglah mertuannya dengan keadaan marah kepada mertuannya karena keberatan melihat anaknya dipukul, aklhirnya si mertua memaksa mantunya tidak mau berta’liq tetapi karena ia dipukul dengan terus-menerus oleh mertuannya akhirnya ia mengucapkan kata-kata takliq, yang saya tanyakan apakah jatuh takliqnya atau tidak dengan sebab paksaan tersebut.

Jawab:
Ketahuilah bahwa syarat-syarat ikrah atau paksaan itu adalah sebagai berikut :
1. Jika ada tahdid itu dilaksanakan langsung pada ketika itu dan adalah tahdidnya tersebut zolim dengan arti bahwa tahdidnya itu tidak benar maka ikrarnya itu sah dan yang dipaksakan itu yakni takliqnya itu tidak jatuh.
2. Jika tahdid itu tidak dilaksanakan langsung ketika itu misalnya : kalau kamu tidak mentakliq istrimu aku akan bunuh engkau besok lalu ia mentalaq istrinya maka ikrahnya itu tidak sah dan talaqnya jajtuh atau kalau kamu tidak mentalaq istrimu aku jatuh atu kalau kamu tidak mentalaq istrimu aku jatuhkan qisas atasmu dan dia mustahiq dikisas lalu ia mentalaq istrinya, maka talaqnya jatuh karena ikrahnya tidak sah sebab bukan zulman
3. orang yang dipaksa itu mengucapkan paksaan ada dua tafsil, pertama misalnya ia dipaksa emtalaq istrinya dengan tidak ada niat , maka paksaan itu sah dan talaqnya itu tidak jatuh
Tafsilan yang kedua ; kalau ia mengucapkan paksaan itu disertakan dengan niat dalam hatinya akan mentalaqnya maka talaqnya jatuh dengan niatnya tersebut.
Hal diatas berdasarkan Ibarat Baijuri Halaman 25 Juzu’ I yang menerangkan sebagai berikut.:
( وشرط الإكراه ) أي شروطه لأنه مفرد مضاف فيمم ومن شروطه أن يكون ما هدد به عاجلا ظلما فلا إكراه بالتهديد بالعقوبة الأجلة كما لو قال : طلق زوجتك وإلا أقتلك غدا ولا بما هو مستجق له كما لو قال طلق زوجتك وإلا اقتصصت منك ومن شروطه أيضا أن لا ينوي الطلاق وألا وقع ( اه.بيجوري )




Kawin dengan tidak menunggu iddah
Usul 2 /B10 :
Ada seseorang bercerai sebelum satu bulan bekas istrinya kawin ( merarik ) dengan orang lain. Dan suami yang belakangan lansung aqad nikah dengan tidak menantikan tiga kali suci karena ia priksa istrinya kedokter dengan menurut keterangannya bahwa istrinya tidak mengandung ( Tidak ada apa – apa di dalam rahiamnya ) mohon penjelasan?

Jawab :
Iddah seseorang yang telah di duhuli ada 4 macam :
a. tiga kali Suci : Kalau Perempuan itu Pernah Haidh dan tidak hamil
b. M elahirkan anak bila ia hamil, baik ia di cerai dengan talaq atau mati suaminya
c. 4 ( empat ) bulan sepuluh hari kalau suaminya mati dan tidak hamil baik sesudah di duhuli atau belum
d. 3 ( Tiga ) Bulan Kalau tidak Haidh karena dia masih kecil atau telah putus dari pada haidhnya.
Ketahuilah bahwa masalah Iddah adalah ketentuan dari agama , bukan di tentukan oleh dokter dan ketahui pula bahwa kekosongan rahim itu bukan sebagai dasar ketentuan jodoh. Tetapi kekosongan rahim itu adalah merupakan salah satu hikmah dari pada jodoh. Justru itu barang siapa yang melakukan perkawinan seperti pada Usul di atas , berarti ia telah merubah / Merusak hukum agama Islam/ Hukum Tuhan. (Dan kita berlindung dari Allah ). Daan perkawinan itu tidak sah
Kemudian Persetubuhannya itu termasuk Zina dan berdosa besarlah orang yang melakukan, yang mengadakan atau pra saksi – saksi dan P 3 NTR –Nya.

Mempertahankan Wali Nikah
Usul 8 / B; 10:
Dapatkah wali Nikah di katakana Enggan , jika wali di pertahankan selama adat istiadat mereka belum di selesaikan ?
Jawab :
Dalam Hal tersebut tetap memepertahankan wali sebelum di laksanakankan adat istiadat dan setelah di suruh oleh hakim, namun si wali tetap memepertahankan, dapatkah di katakana enggan untuk itu pindahlah walinya.
Tetapi kita harus mengambil kebijaksanaan, pandanglah hari depan agar hubungan mempelai dengan mertuanya jangan sampai pernikahan tersebut di laksanakan oleh hakim.

Hukum Perkawinan berbeda Agama
Usul : 10 /B : 10 :
Ada seorang beragama keresten kawin dengan perempuan yang ber-agama islam, kemudian salah satu dari keduanya tetap membawa agamanya masing-masing , apakah hukum perkawinan kedua orang tersebut?

Jawab :
Usul di atas tidak begitu jelas , karan tidak di sebutkan yang mana laki dan perempuan, tetapi marilah kita perhatikan penjelasannya: Perempuan islam tidak sah quruk dengan laki-laki apasaja macam kafirnya, begitu pula tidak sah laki-laki islam kawin dengan wanita ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ) . Adapun perkawinan laki-laki islam dengan wanita ahli kitab ada tafsilannya:
a. Jika nenek moyang mereka masuk kedalam agama tersebut ( ahli Kitab ) setelah di nasakh agama tersebut olah agama islam sepertinya keresten Indonesia, maka perkawinan mereka hukumnya tidak sah
b. Tetapi jika nenek moyang mereka masuk kedalam agama tersebut sebelum di nasakh oleh agama islam ( Belum lahir Nabi Muhammad ) maka perkawinan mereka sah, begitulah di terangkan dalam kitab Siqih



Perempuan yang Salah wali dan hamil
Usul 5 B:42
Ada seorang laki-laki kawin dengan seorang wanita dan setelah dikawin ia bergaul selama bebarapa bulan akhirnya perkawinannya diperbaharui karena salah tempat mengambil wli, kemudian wanita tersebut hamil dan melahirkan anak wanita , tetapi anak yang dilahirkan itu kalau dihitung dari perkawinan yang kedua ( yang diperbaharui ) kurang dari enam bulan, yang kami tanyakan anak tersebut termasuk anak sah atau syubhat dan jika termasuk syubhat siapakah yang menjadi walinya ?

Jawab :
Anak yang dilahirkan itu hukumnya adalah anak syubhat karena perkawinan yang pertama itu adalah Pasid, maka anak yang dilahirkan dalam keadaan syubhat tetap dihubungkan kepada orang yang mempunyai mani demikian orang yang menjadi walinya.


Nasab anak yang lahir dari perkawinan yang salah wali
Usul 6 B:42
Sehubungan dengan usul diatas ada seorang laki-laki mengawini wanita janda ia mengawini setelah iddahnya selesai kemudian ia melahirkan anak setelah bergaul selama enam bulan dua hari maka anak tersebut kepada siapakah dihubungkan ?

Jawab :
Anak tersebut dihubungkan kepada suami yang kedua karena ia kawin setelah selesai iddah dan anak itu lahir dalam masa enam bulan lebih.


Wali yang pulang dari musafir
Usul 7 B:42
Pada Brusur 41 Usul nomor 3 dijelaskan bahwa wali yang musafir kurang dari dua marhalah dan tempatnya tidak diketahui ( terputus ) maka yang berhak menikahkannya adalah Hakim, yang saya tanyakan andaikata perkawinan tersebut telah selesai dilakukan oleh Hakim kemudian ayahnya pulang maka perkawinan tersebut wajib diulangi atau tidak ?

Jawab :
Nikah yang dilakukan oleh hakim adalah nikah yang sah dan nikah yang telah sah tidak perlu diulangi.

Beberapa masalah dalam kongres
Usul yang di jawab oleh kongres Nahdatul Ulama’ yang di ketuai oleh Kiyai Hasyim As’Ary Jombang.
1. Seorang perempuan mati suaminya, kemudian di dalam Iddahnya atau setelah habis Iddahnya Empat bulan sepuluh hari ia berzina dan bunting
2. Seorang perempuan di talaq oleh suaminya , kemudian di dalam Iddahnya atau setelah habis iddahnya dengan Quru’ ( yakni tiga kali suci ) ia berzina dan bunting, kemudian ia kawin dengan si kacung…..yang di tanyakan apakah hukum perkawinan tersebut, dan apa hukum anaknya yang di lahirkan itu. Kemudian Kongres Nahdatul Ulama’ tersebut menjawab / memetuskan sebagai berikut :
a. Jika perempuan tersebut melahirkan anaknya dalam masa kurang dari enam bulan di hitung dari akaq kawinnya dengan si kacung dari empat tahun dari masa mati suaminya atau kurang dari empat tahun dari masa di talaq suaminya yang mati itu / kepada suaminya yang mentalaq nya, dan ternyata perkawinannya dengan si kacung itu tidak sah , dalilnya yaitu hadis yang berbunyi sebagai berikut :
الولد للفراش و على العا هر الحجر ( البخاري )
Artinya : Anak tersebut kembali bagi suaminya yang sah ( yakni suami yang mati itu atau suami yang mentalaq itu ) dan atas perempuan yang berzina itu batu perejam

b. Jika perempuan tersebut melahirkan anaknya setelah enam bulan , dihitung dari perkawinannya , maka anaknya itu adalah anak si kacung dan ternayata perkawinannya si kacung itu adalah sah
c. Dan jika perempuan itu melahirkan anak kurang dari enam bulan dari akaq perkawinannya dengan si kacung dan lebih dari empat tahun di hitung dari masa mati suaminya atau dari masa di talaqnya oleh suaminya , maka anak itu bukan anak si kacung dan bukan anak suaminya yang mati itu atau bukan anak suaminya yang mentalaq itu tetapi ia adalah anak ibunya.
Dan inilah keputusan dan jawaban Nahdatul Ulama’ yang di ajukan kepada Ulama’ – Ulama’ besar di makkah al – Mukarramah yang di setujui oelh beliau – beliu hal tersebut terjadi pada tahun : 1937 M. Tahun ini saya sendiri naik Haji ke makkah Al – Mukarramah ini yang ke ketiga , kali ini saya dapat bermukim di makkah sampai tiga kali haji, dan saya pulang ke Indonesia pada awal tahun 1940 M. setelah mulai perang dunia kedua baru enam bulan.
Saudara – saudara dari jawaban tersebut dapat kita mengerti dan memetik jawaban – jawaban dari usul – usul yang masuk kepada Majlis Ta’lim pada pengajian yang telah lalu yakni pada tanggal : 15 April 1984 M. yang di tunggu –tunggu oleh pengusul jawabannya, pada hari pengajian Abituren yang sekarang ini, Dan sekarang marilah kita teliti usul –usul yang masuk itu dengan seksama sebagai berikut :

Penghubungan anak zina
Usul : 1 / B; 27 :
Seorang perempuan yang sudah didukhuli di cerai oleh suminya, pada waktu pertengahan Iddah , Iddah Quru’ atau Iddah bulan atau sesudah selesai Iddahnya perempuan ini berzina dengan beberapa orang dan perempuan mengaku dengan zinanya, dan ia beranak kurang dari empat tahun, di hitung dari jatuh talaknya
Jadi yang saya tanyakan : Anak yang di lahirkan itu apakah bisa di ilhakkan yakni di hubungkan kepda suaminya yang mentalqnya itu, sehingga anak itu nanti dapat menerima harta warisan nanti bila bekas suaminya itu meninggal dunia ? Dan bagaiman hukum anak itu kalau bekas suaminya tidak mengakuinya sebgai anaknya?

Jawab :
Jawab Usul tersebut bahwa anak itu di ilhakkan ( di hubungkan ) kepada suaminya yang mentalqnya itu , dan sudah barang tentu bahwa anak tersebut pasti mendapatkan warisan dari bapaknya itu adaikata dia mati , dan bukan hanya itu saja melainkan juga ia menjadi walinya kalau anak itu perempuan dan berkawain, dan tidak dapat anak itu ternafi dari bapaknya itu dengan tidak mengakuinya , kecuali dengan jalan berli’an dengan cara yang di sebut di dalam kitab Fiqh pada babul Li’an, dan dalialnya hadis yang telah di utarakan dalam jawaban nahdatul Ulama’ tersebut.

Nikah orang yang sudah berzina

Usul : 2 / B: 27 :
Seorang istri yang sudah di dukhuli meninggal dunia suaminya setelah selesai Iddahnya yaitu empat bulan sepuluh hari, ia berzina dan hamil dan ia mengaku dengan zinanya, begitu juga laki – laki yang menzinainya juga mengaku dengan zinannya itu , lalau di nikahkan oleh walinya , apakah nikahnya ini di anggap sah atau tidak ?

Jawab :
Usul yang kedua ini sebagaimana tersebut di dalam jawaban kengres Nahdatul Ulama’ itu , ada padanya tafsil antara lain :
a. Kalau perempuan itu melahirkan anak kurang dari empat bulan , di hitung dari waktu perkawinannya dengan laki –laki tersebut dan kurang dari empat tahun di hitung dari mati suaminya , maka anak itu di ilhakkan kepda suaminya yang mati itu, dan ternayata perkawinanya dengan laki-laki itu tidak sah.
b. Kalau perempuan tersebut melahirkan setelah enam bulan di hitung dari waktu perkawinannya dengan laki – laki itu maka anaka itu adalah anak suaminya yang kedua dan ternyata perkawinannya sah.
c. Dan kalau perempuan itu melahirkan kurang dari enam bulan di hitung dari perkawinannya dengan laki – laki tersebut dan lebih dari empat tahun di hitung dari waktu mati suaminya yang semula, maka anak itu bukan anak suaminya yang kedua dan tidak di ilhakkan kepada suaminya yang mati itu dan ternayata bahwa perkawinannya dengan suami yang kedua itu adalah sah dan anak itu bukan anak suami yang kedua dan tidak di ilhakkan kepada suami yang mati akan tetapi anak itu adalah anak ibunya saja .

Perempuan yang di tinggal
meninggal yang sudah diduhuli dan ia berzina

Usul : 3 / B : 27
Seseorang perempuan yang sudah diduhuli , suaminya meninggal dunia . sesudah satu tahun ia berzina dengan beberapa orang , dan perempuan ini mengaku dirinya berbuat zina dan ia bunting , kemudian ia melahirkan anaknya pada tahun yang kedua dari meninggal dunia suaminya. Yang saya tanyakan : Apakah anak yang lahir itu di ilhakkan kepada suaminya yang meninggal dunia itu?. Dan kalau di ilhakkan , bagaimana harta yang sudah di bagi oleh waris apakah harus di tinjau kembali ?

Jawab :
Jawab Usul ketiga yaitu bahwa anak tersebut harus di ilhakkan kepada suaminya nyang mati itu , dan peninggalan yang telah di bagi itu harus di tinjau kembali , kemudian di bagi secara ilmu fara’id sebagaimana mestinya,




Laki-laki yang kawin dengan
perempuan yang sudah bunting

Usul : 4 / B : 27 :
Seorang laki – laki berkawin dengan perempuan bunting yang di zinainnya, setelah beberapa hari kemudian dari pada itu tidak mewathikkannya atau yang mewathikkannya lebih dahulu baru ia mencerainya. Kemudian perempuan itu melahirkan setelah enam bulan lebih beberapa hari , di hitung dari akaq nikahnya, dalam masalah ini kemanakah anak ini di ilhakkan atau anak siapakah ini ?

Jawab :
Jawab Usul yang ke empat ini bahwa anak tersebut harus di ilhakkan kepada suaminya itu, masalahini dalilnya sebagai yang di sebut di dalam kitab “ Bugyatul Murtarsyidiin “ Halaman : … iabaratnya :
لو نكح حاملا من الز نا فو لدت لستة أشهر و لحظتين فأكثر من النكاح فالولد يلحقه

Perempuan yang bercina buta setelah berzina
Usul : 5 / B : 27 :
Seorang suami mentalaq istrinya dengan talaq tiga . kemudian setelah selesai iddahnya kurang lebih satu tahun , ia berzina dengan bekas istrinya itu , dan keduanya mengku perbuatannya itu , kemudian perempuan ini berkawin dengan orang lain , dengan kata lain ( bercina Buta ) tetapi ternyata setelah lima bulan dari bercine butanya, Perempuan ini melahirkan anak. Yang saya tanyakan.
a. Bagaimana so’al Cina Butanya? Apa sah atau tidak?
b. Dan bagaimana kalau anak itu lahir setelah enam bulan lebih ?

Jawab :
Jika kurang dari lima bulan dari waktu kawin cina butanya dan kurang empat tahun dari masa di talaq oleh suaminya itu, maka anak itu di ilhakkan ( di hubungkan ) Kepada suaminya yang mentalaqnya itu, dan ternyata perkawinan cina butanya itu tidak sah
Dan jika melahirkan setelah enam bulan dari perkawinan cina buta itu, maka anak itu adalah anak suami cina buta itu, dan perkawinan cina buta itu adalah sah.

Komentar
Ketahuilah bahwa jawaban – jawaban dari lima usul di atas di ambil dari jawaban keputusan Kongres Nahdatul Ulama’ yang di ajukan kepada Ulama’-Ulama’ Besar Makkah Al – Mukarramah pada tarikh yang yang telah saya jelaskan di atas, yang mendapat persetujuan dan kesepakatan dari beliau – beliau itu.
Kemudian dengan ini saya tujukan kepada pengusul sendiri yang mengatakan bahwa ia tidak puas dengan jawaban – jawaban yang ia telah mendengarnya sebelum dari jawaban saya ini.
Nah sekarang setelah mendengar jawaban saya ini,kemudian tidak merasa puas,itu terserah kepada pengusul sendiri,puas tidak puas, karena kita sebagai orang awam wajib mengikuti pendapat ulama’-ulama’ besar yang terpandang /termashur didunia islam,kemudian jangan usul kembali dikemudian hari ……..dan kalau saudara selidiki
Dengan secara mendalam,saudara ketauhi bahwa jawaban ulama’ itu adalah berdasarkan hadis seperti berikut ini
الولد لفراش و على العاهر الحجر
Pengertian hadis tersebut hanya pemandangan kepada suami yang sah dan tidak ada pemandangan sama sekali kepada wathik, zina dan dasar kedua yang beliau pakai dalah kaidah sekurang-kurang buntingan yaitu enam bulan, dan kaidah selama-lama
buntingan yaitu empat tahun, maka dari itu kalau tidak mungkin dihamili anak itu kepada suaminya yang sah dahuluan karena dilahirkan kemudian dari empat tahun dan tidak mungkin dihamili pada suaminya yang kedua, karena lahirnya kurang dari enam bulan, dihitung dari kawinnya dengan suami kedua barulah bekiau-beliau itu memutuskan bahwa anak tersebut tidak dapat diilhakkan keoada suaminya yang dahuluan yang mentalaknya atau yang mati dan tidak dapat juga diilhakkan kepadasuami yang kedua, karena sebab-sebab tersebut diatas.


Hukum ruju’ yang di nafikan
dengan kata Tidak untuk membohongi istrinya
Usul 6 B; 27:
Seorang laki-laki mempunyai istri dua,yang saya sebut dengan istri tua dan istri muda,laki-laki ini mencerai istrinya yang muda,setelah beberapa hari laki-laki ini meruju’i.yang muda itu, begitu istri tuanya dapat cerita suaminya ruju’ langsung ia mencari suaminya dan bertanya dengan katanya:
Betulkah engkau telah meruju’ istrimu itu?,suaminya menjawab dengan berniat membohongi istrinya dengan katanya (tidak) .yang saya tanyakan :Bagaimana hukum ruju’ yang dinafikan atau ditiadakannya,dengan sebab pertanyaan istrinya dengan kalimat shoreh itu ? dan bagaimana hukum orang yang sudah mentalaq istrinya, lalu ditanya oleh orang lain, betulkah engkau telah mentalaq istrimu? Lalu ia menjawab dengan tidak, apakah orang ini tidak menjadi ruju’?

Jawab:
Jawaban usul keenam ini, pjawaban usul keenam ini, pertanyaan pengusul pertama(bagaimana hukum ruju’ yang dinafikan atau ditiadakannya,dengan sebab pertanyaan istinya dengan kalimat shoreh itu )?.bahwa kalimat shoreh itu yang dipakai oleh penanya itu bukan pada tempatnya,oleh karena tempat dipakainya kalimat shoreh yaitu pada lapaz thalaq shoreh atau ruju’, dan lawannya kinayah dan lapaz tidak itu tidaklah membatalkan ruju’nya dan yang dapat membatalkan ruju’nya yaitu apabila ia mentalak kembali.jawaban kedua:bahwa tadi telah dijelaskan bahwa kalimat tidak bukan menjadi shoreh, baik pada talaq atau pada ruju’, dan jawabannya dengan tidak itu menjadi kinayah yang berkehendak kepada niat, dan apabila ia menjawab dengan kata tidak dan didalam hatinya adalah niat ruju’, barulah ia menjadi ruju’, dan kalau tidak ada dalam hatinya niat ruju’ adalah jawabannya dengan kata tidak itu hanya bohong belaka, dan bohng dalam bahasa arab (ا لكذ ب )
Dan ta’rifnya yaitu:
( كلام غير مطا بسق للاسو اقع )

Lihat Artikel lainya yang berkaitan dengan :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar