Oleh: Husni Rahim
Keunikan madrasah diawali dengan hampir terbesar jumlah madrasah adalah milik swasta. Berbeda halnya dengan sekolah di lingkungan Diknas. Pada tingkat sekolah dasar, jumlah Madrasah Ibtidaiyah Negeri hanya 4,8% dibanding dengan Madrasah Ibtidaiyah Swasta yang berjumlah 95,2%. Keadaan ini terbalik dengan Sekolah Dasar Negeri berjumlah 93,11% dan Sekolah Dasar Swasta 6,89%. Pada tingkat SMP, keadaanya tidak jauh berbeda. Jumlah Madrasah Tsanawiyah Negeri 24,3% dan Madrasah Tsanawiyah Swasta 75,7% sedangkan di Diknas SMP Negeri 44,9% berbanding 55,9% Sekolah Swasta. Hal yang sama pada tingkat SMU, dimana jumlah Madrasah Aliyah Negeri sebanyak 30% dan Madrasah Aliyah Swasta berjumlah 70%. Di Diknas keadaannya serupa, SMU Negeri 30,5% dan SMU Swasta berjumlah 69,4%.
Keunikan kedua, madrasah adalah lembaga pendidikan yang populis, yang ditampakkan dengan madrasah tumbuh dan berkembang dari masyarakat dan untuk masyarakat. Masyarakatlah yang membentuk, membina dan mengembangkannya. Oleh karena itu dari segi kuantitas perkembangannya sangat pesat, namun dari segi kualitas perkembangnnya sangat lambat. Ini mungkin konsekuensi madrasah yang bersifat populis yang selalu cendrung memekar dan belum sempat mendalam. Keterikatan masyarakat terhadap madrasah sepanjang sejarah pendidikan Islam di Indonesia lebih ditampakkan sebagai "ikatan emosional" yang tinggi. Ikatan ini muncul karena bertemunya dua kepentingan yaitu pertama; hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperanserta dalam pendidikan (meningkatkan pendidikan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya) dan kedua; motivasi keagamaan (keinginan agar anak-anak mendapat pendidikan agama yang cukup) di samping pendidikan umum. Kuatnya ikatan emosional masyarakat ini telah menyebabkan madrasah menjadi lebih masif, lebih populis dan lebih mencerminkan suatu gerakan masyarakat--karena itu madrasah lebih banyak di pedesaan dan daerah pinggiran, lebih dimotivasi secara intrinsik bahwa belajar itu sebagai suatu kewajiban (lihat beberapa Hadis), dan lebih tanpa pamrih atau dengan kata lain “lillahi ta'allah”. Motivasi agama ini didukung pula oleh ajaran wakaf yang memberi dorongan bahwa tanah/sarana yang telah diwakafkan akan terus mengalir amalnya, walaupun yang bersangkutan telah meninggal dunia.- hampir seluruh tanah madrasah adalah wakaf. Keterikatan emosional ini disatu sisi merupakan potensi dan kekuatan bagi madrasah dalam arti rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggungjawab (sense of responsbility) masyarakat yang tinggi.
Hal ini juga dapat menjadi faktor penting untuk menjamin sustainabilitas (kelangsungan hidup) madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan yang populis.Tapi di pihak lain, ia dapat menjadi kendala. Karena merasa sebagai pemilik dan sebagai pendiri yang membina madrasah semenjak awal, sebagian masyarakat mungkin tidak akan begitu mudah menerima ide-ide reformasi yang diluncurkan dari atas, kecuali dalam keadaan terdesak-- misalnya masyarakat dan/atau yayasan merasa tidak mampu lagi membina sekolah dengan baik karena keterbatasan sumber daya dan kemampuan manajemen. Dengan kata lain setiap reformasi madrasah akan berjalan lamban.
Keunikan lain yang menarik dari madrasah bahwa jumlah siswa perempuan lebih banyak dari siswa laki-laki. Keadaan terbalik pada sekolah umum, siswa laki-laki lebih banyak dari siswa perempuan. Pada madrasah Ibtidaiyah, jumlah murid perempuan 52% dan murid laki-laki 48%, sedangkan di Sekolah Dasar, murid perempuan 48% dan murid laki-laki 52%. Pada tingkat Tsanawiyah, jumlah murid perempuan 53% dan murid laki-laki 47%, sedangkan murid perempuan di SMP 45% dan murid laki-laki 55%. Demikian pula pada tingkat Aliyah. Murid perempuan 55% dan laki-laki 45%. Keadaan ini berbeda dengan di Diknas yang murid laki-lakinya 53% dan murid perempuan 47%.
Keadaan ini memberi makna (berdasarkan wawancara konsultan ADB dan BEP dengan para orang tua) bahwa orang tua yang menyekolahkan anak perempuannya di madrasah merasa "aman" dalam arti "moral". Ini memberi petunjuk dalam pandangan para orang tua madrasah masih dianggap sebagai "benteng moral". Namun sayangnya madrasah belum menjanjikan peluang yang lebih luas untuk lapangan kerja. Banyaknya murid wanita pada madrasah dilatarbelakangi oleh pandangan sosiologis masyarakat Islam Indonesia bahwa tugas utama wanita adalah sebagai ibu rumah tangga, yang diharapkan mempunyai jiwa keagamaan yang cukup memadai sehingga mampu membina rumah tangga dengan baik dan mendidik anak-anak dengan baik pula. Dengan kata lain anak wanita yang sekolah di madrasah akhlaknya/moralnya dianggap akan lebih baik dari yang di sekolah umum.
Hal yang sebaliknya terhadap anak laki-laki, di mana anak laki-laki diharapkan menjadi kepala rumah tangga yang bertanggungjawab terhadap nafkah keluarga, maka memerlukan pendidikan umum yang memudahkan ia mencari pekerjaan. Dengan demikian menurut persepsi masyrakat, bahwa madrasah mempunyai kelebihan dalam bidang pendidikan akhlak/moral, namun lemah dalam bidang pengetahuan umum dan sebaliknya sekolah umum mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu pengetahuan umum sebagai bekal mencari nafkah, namun lemah dalam pembinaan akhlak/moral. Berdasarkan alasan itu, maka para orang tua lebih menyukai anak laki-lakinya sekolah ke sekolah umum dengan alasan melalui sekolah umum, dimana pelajaran umumnya lebih banyak dan kualitasnya lebih baik, maka lapangan kerja lebih terbuka dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi juga lebih memungkinkan. Kenyataan ini menjadi tantangan madrasah untuk meningkatkan kualitas bidang studi umum dengan tetap mempertahankan kekuatannya sebagai “benteng moral” sebagai ciri khas madrasah.
Keunikan lain lagi dari madrasah adalah lokasi madrasah yang kebanyakan berada di daerah pinggiran, pedesaan, daerah terpencil, daerah miskin dan tertinggal. Ini sesuai dengan akar sejarah madrasah yang lahir dari inisiatif masyarakat di mana mereka tidak mampu mengirim anak-anak mereka ke sekolah yang letaknya jauh dan sekolah dengan bayaran “mahal”. Juga karena faktor ekonomis di mana anak harus membantu orang tua dalam mencari nafkah (dalam hal ini madrasah memberi alternatif pendidikan sore/malam).
Madrasah berdiri biasanya, di mana tidak ada sekolah umum milik Diknas di daerah itu (Oleh karena itu ketika pemerintah melalui program INPRES SD mendirikan hampir di seluruh daerah dimana madrasah telah ada, menimbulkan dilema baru bagi orang tua dan berakibat di beberapa daerah madrasahnya mati dan di beberapa daerah lainnya SD Inpresnya yang tutup). Sebagai konsekuensi madrasah yang menerima murid dari kalangan rakyat bawah, maka hampir saeluruh madrasah hanya memungut bayaran sekolah “sekedarnya”. Malah kadang-kadang cukup dibayar dengan singkong, pepaya dan sejenisnya..
Dana yang dapat dikumpulkan masyarakat muslim dalam pengembangan madrasah sangat terbatas, sementara biaya pendidikan semakin mahal, sehingga tuntutan untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan madrasah ketinggalan terus. Pada umumnya madrasah swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena menampung siswa-siswa dari keluarga ekonomi lemah. Akibatnya biaya untuk menunjang proses belajar mengajar dengan menggunakan berbagai fasilitas dan teknologi tidak dapat dilaksanakan .( Data Emis 2001 menunjukkan alokasi dana untuk proses belajar mengajar di madrasah hanya 5,6% , dana terbesar pada gaji dan honor serta pemeliharaan) Ini pula yang menyebabkan kualitas siswa madrasah tetap tertinggal.
Keunikan lainnya adanya keanekaragaman madrasah baik dari segi jenis pendidikan, penyebaran maupun kualitasnya. Keanekaragaman madrasah tampak dalam berbagai program yang muncul seperti pada Madrasah Aliyah ada program keagamaan, program ketrampilan, program kejuruan di samping madrasah dengan program sekolah umum yang berciri khas Islam. Dari aspek penyelenggara, maka ada madrasah yang bernaung dalam organisasi keagamaan seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Tarbiyah Islamiyah dan lain-lain. Juga ada yang merupakan milik keluarga, milik perorangan atau yayasan. Juga ada yang menjadi bagian dari pondok pesantren. Dari aspek kualitas sangat beragam pula, dari yang berkualitas sekedarnya sampai yang berkualitas unggul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar