Jumat, 29 April 2011

Problema Pendidikan Madrasah

Problema Pendidikan Madrasah
Oleh Herry, 2008-02-20

UNDANG-UNDANG Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tidak membedakan pendidikan madrasah dengan sekolah umum, termasuk soal antara sekolah negeri dan swasta. Sebab, kedua sistem tersebut merupakan institusi pendidikan yang memiliki peran penting dalam membangun bangsa.


Memang, pada sisi kurikulum ada satu hal yang membedakan madrasah dengan sekolah, yakni dari sisi kuantitas pembelajaran. Pendidikan keagamaan di madrasah lebih banyak dibandingkan dengan di sekolah umum. Di madrasah pendidikan keagamaan mencapai 9 jam pelajaran, sedangkan di sekolah umum hanya 2 jam.
Namun selama ini, pendidikan di madrasah masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Ada anggapan turun gengsi ketika melanjutkan pendidikan ke madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiah (MTs) atau madrasah aliah (MA). Derajat madrasah pun diposisikan di bawah sekolah umum. Kalaupun masuk atau melanjutkan pendidikan ke madrasah, hal itu menjadi pilihan terakhir lantaran gagal masuk ke sekolah umum idamannya.
Paradigma pemikiran seperti ini diperkuat pula dengan kondisi infrastruktur madrasah yang kurang memadai bahkan sangat memprihatinkan. Di Kab. Cianjur, dari 222 bangunan MI yang ada, baru 30% yang memenuhi standar. Selebihnya, kondisi bangunan MI ini rusak berat, bahkan banyak bangunannya yang nyaris ambruk. "Kalau kondisi bangunan MTs agak lumayan, sebab masih ada kira-kira 65% yang layak dipakai. Tapi kondisi bangunan MI, hampir 70% sangat memprihatinkan," ungkap Dra. Hj. Ida Farida, M.Pd., Kasi Mapenda Depag Cianjur.
Kondisi bangunan yang memprihatinkan ini, akan memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap madrasah. "Masyarakat sekarang lebih suka melihat kulit luar alias casing daripada isi," imbuh Ida.
Sebenarnya, belakangan ini kucuran anggaran untuk program pembangunan fisik madrasah relatif banyak. Padahal, sebelum tahun 2000, program pembangunan untuk madrasah, relatif minim. Akibatnya, saat itu, sudah menjadi pemandangan biasa kalau banyak bangunan MI yang seperti kandang kerbau. Bahkan, tidak sedikit pula MI yang membubarkan diri lantaran bangunannya raib dimakan usia, tergusur bencana, atau ditinggalkan masyarakat. Salah satu contohnya terjadi di Kec. Tanggeung dan Sindangbarang.
Kendati demikian, Ida memperkirakan, derasnya program pembangunan tidak bisa merehabilitasi semua bangunan madrasah, khususnya MI, dalam dua atau tiga tahun ke depam, "Memang tahun 2008 kami jadikan sebagai tonggak akselerasi perbaikan sarana dan peningkatan SDM pengelola madrasah, tetapi kami tidak bisa memastikan pada dua atau tiga tahun mendatang semua bangunan MI akan layak pakai. Apalagi program pembangunan melalui dana role sharing akan berakhir tahun 2008," jelasnya.
Bukan hanya urusan bangunan yang membelenggu perkembangan madrasah, SDM pengelola madrasah, seperti guru pun masih terpuruk. Padahal kualitas guru menjadi salah satu nilai jual madrasah kepada masyarakat. Kantor Depag Cianjur pun berusaha untuk mendongkrak program peningkatan SDM guru madrasah. Para guru madrasah (ustaz) diikutsertakan pada aneka program pelatihan maupun program peningkatan mutu akademis.
Menurut Ida, pada tahun 2008, program pelatihan dan peningkatan mutu akademis akan mengikutsertakan 200 guru untuk pendidikan sarjana (S1). Selain itu, dari 222 MI, hanya ada 2 yang berstatus negeri. Sedangkan untuk tingkat lanjutan, dari 83 MTs, 6 berstatus negeri, dan dari 22 MA hanya 3 yang berstatus negeri. Mayoritas madrasah-madrasah itu berstatus swasta.
Banyaknya madrasah yang berstatus swasta, menurut Kepala Urusan Pegawai (KUP) Kantor Depag Cianjur, Yudi A. Hidayat, menyebabkan populasi guru berstatus pegawai negari sipil (PNS) di madrasah sangat minim. "Padahal status swasta bukan alasan minimnya jumlah guru PNS di madrasah. Sebab, di mata Undang-Undang Sisdiknas, madrasah (sekolah) swasta atau negeri itu sama saja. Semuanya institusi pendidikan, tujuannya sama, untuk membangun bangsa," kata Yudi.
Saat ini, jumlah guru madrasah yang berstatus PNS sangat kecil. Pada MI dari 1.649 guru, hanya 322 guru berstatus PNS. Sementara di MTs dari 1.729 guru, hanya 203 PNS dan MA dari 625 guru hanya 134 berstatus PNS. Jumlah guru PNS yang ada tidak rasional dibandingkan dengan jumlah madrasah atau rombongan belajar (rombel) yang ada.
Contohnya di Kec. Tanggeung, jumlah guru PNS dari tahun ke tahun menyusut lantaran pensiun. Saat ini di kecamatan yang berjarak sekira 80 km dari Kota Cianjur ini, tinggal 10 guru madrasah yang berstatus PNS. Ke-10 guru PNS ini pun, berdasarkan data, bakal pensiun pada tahun 2010. "Jika tidak ada pengangkatan lagi, dua atau tiga tahun mendatang di Tanggeung tak akan ada guru madrasah berstatus PNS. "Kondisi seperti ini terjadi juga di kecamatan lainnya," ujar Yudi.
Ditambahkan Yudi, kian menyusutnya jumlah guru PNS di madrasah lantaran ketidakseimbangan antara yang pensiun dan kuota pengangkatan. Pada tahun 2005-2007, misalnya, terdapat 177 karyawan Kantor Depag Cianjur, yang 80% merupakan guru madrasah, memasuki masa pensiun. Pada periode yang sama, hanya 43 karyawan yang diangkat menjadi PNS. "Kecilnya jumlah PNS ini juga berpotensi menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada madasarah," katanya.
Namun, berapa pun jumlah guru PNS, tidak menjadi ukuran pasti kinerja pendidikan di madrasah. Sebab, fakta sering berbicara lain. Guru berstatus honorer justru sering lebih memiliki kinerja tinggi. Namun, di tingkat normatif, menurut Yudi, tetap saja ada anggapan semakin banyak guru PNS maka kinerja pendidikan harus meningkat. "Banyaknya guru PNS juga akan menaikkan posisi tawar madrasah di mata masyarakat," pungkasnya. (PK-4)***


Lihat Artikel lainya yang berkaitan dengan :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar